Rabu, 17 April 2013

TEST RIDE MINERVA-SACHS 250 SUPERMOTO

Standard

test-minerva-250

Apa sih yang didapat ketika riding motor anyar hanya satu putaran? Tentu saja tidak cukup banyak riding feeling yang didapat. Itulah kondisi yang terjadi beberapa saat setelah launching Minerva Sachs 250, Selasa, kemarin.
PT Minerva Motor Indonesia (MMI) menyediakan tiga unit motor test Minerva Sachs 250: sport fairing, naked bike, dan supermoto. Berhubung yang mau njajal banyak dan lintasan terbatas, peserta pun dibatasi hanya satu putaran yang sekitar 400 meter.
Saya memilih model supermoto, karena sejak awal naksir dengan bodi jangkung dan modelnya yang out of the box dibanding motor-motor lain di Tanah Air. Menurut saya, desain unik namun tidak ndeso inilah yang menjadi pemikat penyuka sepeda motor di Indonesia. Termasuk saya yang kesengsem sama model supermoto.
Bagaimana soal ketahanan bodi? Terus terang saya kurang tahu soal ini. Yang jelas, trek supermoto disebutkan 70 persen adalah tarmac (aspal) dan 30 persen tanah (dirt) dengan sejumlah jump. Tentu ini berbeda dengan arena motocross yang murni lempung dan table top menjulang. Dan tentu, menurut saya, rangka motor yang terlahir sebagai dirtbike, trail, dan semacamnya, konstruksinya lebihstiff dibanding motor biasa.
minerva-sachs-250m
Soal rangka Minerva yang dipasok Megelli, menurut pendapat saya, Megelli sudah memperhitungkan sejauh mana kekuatan konstruksi model ini untuk digunakan di (sebagian besar) jalan raya dan lintasan tanah.
Sekarang soal mesin. Awalnya saya surprise dengan keterangan di brosur yang menyebutkan power maximum sebesar 20,5 DK pada 8500 RPM. Sedikit di atas Yamaha Scorpio yang mampu menyemburkan daya maksimum 19 PS pada 8,000 RPM.
Yang jadi persoalan, klaim pabrikan itu, menurut saya agak berlebihan. Saya perhatikan beberapa teman yang ngetest – walau singkat, mesinnya ngeden pada saat akselerasi awal. Itu juga yang saya rasakan ketika menjajal model supermoto. Akselerasi lemot, kaya kampas kopling yang sudah terkikis.
Kekurangan lain, perpindahan antar gigi keras dan susah. Apalagi untuk menetralkan dalam kondisi mesin hidup: susah banget! Ternyata rekan saya, Nandar dari MotoRev juga mengalami hal yang sama. Begitu pula komentar para tester lain. Padahal tuas kopling sudah ditekan habis.
persneling-250m
Jarak tuas persneling dan footpeg terlalu jauh. Sukar mencongkel. Apalagi persneling keras dan susah netral.
Untuk menetralkan gigi, terpaksa mesin harus saya matikan dulu. Barulah persneling mau dinetralkan. Fyuuuh….
Secara ergonomi, tuas persneling juga terlalu jauh dengan footpeg. Ukuran kaki saya yang 41, dengan sepatu biker Tomkins rada sulit menggowel tuas. Belum lagi tuas persneling yang keras.
Oh iya, saya menjajal dengan berboncengan. Pengen tahu seberapa dinamis gerak suspensi belakang. Berat saya 58 kilogram, sementara teman saya, Muhib, bobotnya 70 kilogram. Total berat 138 kilogram. Plus berat motor 116 kilogram.
Dalam posisi diam, jarak antara rear huger (spatbor kolong) dan mufler undertail sekitar tiga jari tangan. Kira-kira rawan mentok nggak ya? Toh, sepertinya pengendara motor ini jarang untuk boncengan. Nggak enak dilihat kali ya?
Bagaimana dengan handling?. Nah, ini yang saya rasakan mantap. Setang model fatbar secara ergonomi nyaman saya pegang. Untuk manuver lincah. Sayangnya, saya terkendala masalah gigi persneling itu.
Secara garis besar saya menyarankan kepada MMI untuk memperbaiki sedikitbug itu: akselerasi lamban, persneling keras, dan susah netral. Jika itu sudah bisa diatasi, saya yakin akan makin banyak biker yang tergoda meminang ketiga seri Minerva-Sachs 250 ini. Jadi selain gaya di jalan, performa juga mendukung.
Mungkin sedikit review diatas masih prematur, karena test ride yang terbatas waktu dan lintasan. Lain waktu saya berharap MMI menyediakan lintasan dan lokasi yang lebih memadai untuk ngetest. Bukankah produk test itu merupakangolden choice pabrikan?

0 komentar:

Posting Komentar